Karena pembahasan kali ini adalah mengenai studi hadis, kami akan
mencoba menggambarkan pemikiran seorang orientalis bernama Arent Jan Wensinck
dalam memandang hadits. Menurut Wensinck, urgensi studi hadis terletak pada
fungsinya sebagai alat untuk memahami Islam dan kaum Muslim
dengan lebih mudah. Selain itu bagi Wensinck sendiri, sebagai seorang sarjana
pengkaji sejarah Islam, fungsi hadis sebagai sumber utama sejarah Islam sangat
penting. Kekayaan informasi yang dikandung hadits akan sangat berguna bagi para
sejarawan yang akan meneliti dan menulis sejarah Islam.
Persoalan pertama tentang hadis yang menarik perhatian Wensinck
adalah persoalan yang menyangkut bahwa apakah matan hadits berasal dari dalam
ajaran Islam sendiri atau dari pengaruh berbagai unsur, ajaran, dan tradisi
di luar Islam. Dan,menurut Wensinck, sebagian hadits (untuk
tidak menyebutkan semua) tidak otentik karena ia berasal dan diambil dari
berbagai ajaran dan tradisi di luar Islam, yakni utamanya, Yahudi dan Kristen.
Doktrin-doktrin Kristen telah menyusup secara besar besaran kedalam perkataan
Nabi Muhammad saw. Tidak hanya ajaran-ajaran Kristen, hampir seluruh ajaran
Yudaisme, terutama ajaran tentang eskatologi dan kosmologinya, telah merasuki
hadits.
Seperti yang diungkapkan Wensinck sendiri dalam karyanya
The Importance of Tradition for Study of Islam :
“Moslem tradition is however a term wich in Arabic
is expressed not by one but by two words, hadith and sunna. The former denotes
a communication or a tale in our case the oral or sribal translation of the
saying or actions mentioned; the latter means "use" and
"tradition", in our case the exemplar way in which Mohammed
used to act and to speak. So hadith is the form, sunna the matter.
Tradition as to its form is Jewish. According to the Jewishconception the
Law was revealed ....”[1]
Salah satu bukti dalam hal ini (hadis terkontaminasi dari budaya
sebelum Islam itu sendiri) adalah bahwa Ka’ab al-Akhbar, seorang Muslim yang
sebelumnya beragama Yahudi, telah meriwayatkan cerita-cerita dan
legenda-legenda yang terkandung dalam Perjanjian Lama (israiliyyat) ke
dalam hadis. Bahkan, lebih jauh Wensinck menambahkan bahwa Helenisme juga telah masuk ke dalam hadis.
Jadi, menurut Wensinck hadis merupakan komposisi campur-aduk antara
ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi yang dihisap dari Kristen, Yahudi, Yunani
(Helenisme) dan Romawi. Persepsi Wensinck tentang hadits tersebut di muka,
boleh jadi terbentuk oleh latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Ia mampu
mengkombinasikan berbagai varian dan spesialisasi dalam kajian
sejarah agama-agama.
Dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah agama-agama Semit,
Wensinck mampu menghubungkan fakta-fakta sejarah dan tradisi-tradisi antar
agama. Wensinck dengan leluasa melakukan cross-check otentisitas
sebuah matan hadis dengan kebenaran sejarah. Pendeknya, untuk mengetahui
otentik-tidaknya sebuah hadis, dalam arti sejauh mana orisinalitas dan
genuinitas matan sebuah hadis sebagai produk ajaran Islam, Wensinck melakukan
‘kritik’ terhadap sebuah matan hadis dengan kenyataan dan fakta-fakta sejarah,
tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran agama-agama pendahulu Islam.
Contoh sederhana yang diberikan Wensinck dalam hal ini adalah tiga
riwayat hadis tentang pengkafanan jenazah. Menurutnya, tiga riwayat ini
mencerminkan evolusi tiga tradisi pengkafanan jenazah yang berbeda, yakni:
tradisi kaum Semit kuno, Yahudi, dan Kristen Syiria. Otentisitas hadis juga
menyangkut persoalan apakah sebuah hadis benar-benar berasal dari ucapan Nabi
atau buatan para generasi setelahnya. Wensinck memandang bahwa hadis, yang
dianggap kata-kata Muhammad (logia Muhammadis) sebenarnya
adalah cermin dari sejarah pemikiran Islam selama abad pertama
Hijriyah. Di tempat lain, Wensinck juga menyebut hadis sebagai hasil
pergulatan teologis generasi sahabat.[2]
Wensinck menyatakan bahwa hadis adalah sumber utama untuk apa yang
disebutnya sebagai history of dogma and law. Karena hampir tidak
ada sebuah pandangan yuridis maupun teologis yang tidak dijustifikasi oleh
hadis. Dengan demikian, bagi Wensinck, hadis merupakan sumber informasi utama
bagi perkembangan awal teologi Islam.
C.
Metode Kajian Hadis Wensinck
Sebagai seorang doktor sastra, dalam penelitiannya, Wensinck
menggunakan metode higher criticism, salah satu cabang dari
analisis sastra (literary analysis), yang dikenal dengan ‘kritik
sejarah’ (historical criticism) yang berupaya mengungkap
orisinalitas sebuah teks (kajian filologi). Secara khusus, fokus
analisis higher criticismtertuju pada sumber-sumber sebuah dokumen
(teks) dan pada upaya menentukan pengarang (author), waktu (period) dan
tempat (place) penulisan dan materi asal teks tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, Wensinck menggunakan metode penelitian
sejarah atau lebih dikenal dengan istilah ‘metode sejarah’ (historical
method), yakni serangkaian teknik dan pedoman hal mana para sejarawan
menggunakan sumber sumber primer sejarah dan fakta-fakta lainnya untuk meneliti
sejarah dan kemudian menulisnya. Dengan kombinasi antara ‘metode sejarah’
ditambah dengan pengetahuannya tentang Yahudi, Kristen, Helenisme, dan Islam,
Wensinck menunjukkan evolusi doktrin-doktrin Islam.[3]
Mekanisme kritik Wensinck terhadap hadits adalah dengan cara
menghadapkan hadis dengan data-data sejarah dari berbagai tradisi agama Semit.
No comments:
Post a Comment