Monday, December 26, 2016

Pemikiran A. J. Wensick

Karena pembahasan kali ini adalah mengenai studi hadis, kami akan mencoba menggambarkan pemikiran seorang orientalis bernama Arent Jan Wensinck dalam memandang hadits. Menurut Wensinck, urgensi studi hadis terletak pada fungsinya sebagai alat untuk memahami Islam dan kaum Muslim dengan lebih mudah. Selain itu bagi Wensinck sendiri, sebagai seorang sarjana pengkaji sejarah Islam, fungsi hadis sebagai sumber utama sejarah Islam sangat penting. Kekayaan informasi yang dikandung hadits akan sangat berguna bagi para sejarawan yang akan meneliti dan menulis sejarah Islam.
Persoalan pertama tentang hadis yang menarik perhatian Wensinck adalah persoalan yang menyangkut bahwa apakah matan hadits berasal dari dalam ajaran Islam sendiri atau dari pengaruh berbagai unsur, ajaran, dan tradisi di luar Islam. Dan,menurut Wensinck, sebagian hadits (untuk tidak menyebutkan semua) tidak otentik karena ia berasal dan diambil dari berbagai ajaran dan tradisi di luar Islam, yakni utamanya, Yahudi dan Kristen. Doktrin-doktrin Kristen telah menyusup secara besar besaran kedalam perkataan Nabi Muhammad saw. Tidak hanya ajaran-ajaran Kristen, hampir seluruh ajaran Yudaisme, terutama ajaran tentang eskatologi dan kosmologinya, telah merasuki hadits.
Seperti yang diungkapkan Wensinck sendiri dalam karyanya The Importance of Tradition for Study of Islam :
“Moslem tradition is however a term wich in Arabic is expressed not by one but by two words, hadith and sunna. The former denotes a communication or a tale in our case the oral or sribal translation of the saying or actions mentioned; the latter means "use" and "tradition", in our case the exemplar way in which  Mohammed used to act and to speak. So hadith is the form, sunna the matter. Tradition as to its form is Jewish. According to the Jewishconception the Law was revealed ....”[1]
Salah satu bukti dalam hal ini (hadis terkontaminasi dari budaya sebelum Islam itu sendiri) adalah bahwa Ka’ab al-Akhbar, seorang Muslim yang sebelumnya beragama Yahudi, telah meriwayatkan cerita-cerita dan legenda-legenda yang terkandung dalam Perjanjian Lama (israiliyyat) ke dalam hadis. Bahkan, lebih jauh Wensinck menambahkan bahwa Helenisme juga telah masuk ke dalam hadis.
Jadi, menurut Wensinck hadis merupakan komposisi campur-aduk antara ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi yang dihisap dari Kristen, Yahudi, Yunani (Helenisme) dan Romawi. Persepsi Wensinck tentang hadits tersebut di muka, boleh jadi terbentuk oleh latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Ia mampu mengkombinasikan berbagai varian dan spesialisasi dalam kajian sejarah agama-agama.
Dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah agama-agama Semit, Wensinck mampu menghubungkan fakta-fakta sejarah dan tradisi-tradisi antar agama. Wensinck dengan leluasa melakukan cross-check otentisitas sebuah matan hadis dengan kebenaran sejarah. Pendeknya, untuk mengetahui otentik-tidaknya sebuah hadis, dalam arti sejauh mana orisinalitas dan genuinitas matan sebuah hadis sebagai produk ajaran Islam, Wensinck melakukan ‘kritik’ terhadap sebuah matan hadis dengan kenyataan dan fakta-fakta sejarah, tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran agama-agama pendahulu Islam.
Contoh sederhana yang diberikan Wensinck dalam hal ini adalah tiga riwayat hadis tentang pengkafanan jenazah. Menurutnya, tiga riwayat ini mencerminkan evolusi tiga tradisi pengkafanan jenazah yang berbeda, yakni: tradisi kaum Semit kuno, Yahudi, dan Kristen Syiria. Otentisitas hadis juga menyangkut persoalan apakah sebuah hadis benar-benar berasal dari ucapan Nabi atau buatan para generasi setelahnya. Wensinck memandang bahwa hadis, yang dianggap kata-kata Muhammad (logia Muhammadis) sebenarnya adalah cermin dari sejarah pemikiran Islam selama abad pertama Hijriyah. Di tempat lain, Wensinck juga menyebut hadis sebagai hasil pergulatan teologis generasi sahabat.[2]
Wensinck menyatakan bahwa hadis adalah sumber utama untuk apa yang disebutnya sebagai history of dogma and law. Karena hampir tidak ada sebuah pandangan yuridis maupun teologis yang tidak dijustifikasi oleh hadis. Dengan demikian, bagi Wensinck, hadis merupakan sumber informasi utama bagi perkembangan awal teologi Islam.

C. Metode Kajian Hadis Wensinck
Sebagai seorang doktor sastra, dalam penelitiannya, Wensinck menggunakan metode higher criticism, salah satu cabang dari analisis sastra (literary analysis), yang dikenal dengan ‘kritik sejarah’ (historical criticism) yang berupaya mengungkap orisinalitas sebuah teks (kajian filologi). Secara khusus, fokus analisis higher criticismtertuju pada sumber-sumber sebuah dokumen (teks) dan pada upaya menentukan pengarang (author), waktu (period) dan tempat (place) penulisan dan materi asal teks tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, Wensinck menggunakan metode penelitian sejarah atau lebih dikenal dengan istilah ‘metode sejarah’ (historical method), yakni serangkaian teknik dan pedoman hal mana para sejarawan menggunakan sumber sumber primer sejarah dan fakta-fakta lainnya untuk meneliti sejarah dan kemudian menulisnya. Dengan kombinasi antara ‘metode sejarah’ ditambah dengan pengetahuannya tentang Yahudi, Kristen, Helenisme, dan Islam, Wensinck menunjukkan evolusi doktrin-doktrin Islam.[3]
Mekanisme kritik Wensinck terhadap hadits adalah dengan cara menghadapkan hadis dengan data-data sejarah dari berbagai tradisi agama Semit.



[1] A.J.Wensinck, The Importance of Tradition for Study of Islam, The Moslem World, 1921, hal.239
[2] M. Anwar Syariffuddin, Op.Cit,  hlm. 125
[3] Ibid, hlm 125

No comments:

Post a Comment