Sehubungan
serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filosof dari
serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis
buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Dari 20
persoalan yang dilontarkan al-Ghazali ada 3 hal yang dianggap paling
membahayakan “kestabilan” umat yaitu : Qadimnya Alam, Pengetahuan
Tuhan terhadap hal-hal partikular, dan kebangkitan jasmani.
1.
Qadimnya alam
Menurut
Al-Ghazali, pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula
tidak dapat diterima kalangan teologi Islam. Karena menurut konsep teologi
Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu
dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula,
berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.
Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran. Ibn Rusyd, begitu juga
para filosof lainnya, berpendapat bahwacreatio ex nihilio tidak
mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak
mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi
ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Menurut
al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari
tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, atau cretio ex nihilo).
Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak
membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada
menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya
alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Bagi
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada
seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan
qadimnya Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah
menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam),
menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi.
Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal
alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali
di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada
alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum
ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita
membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan
kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu
ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa
ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah
barang tentu belum adanya masa.
Dalam Fashl
al-Maqal..., Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka
tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik.
Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke
dalam tiga jenis:
a. Jenis
Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti
wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan
indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka
namakan dengan Baharu.
b. Jenis
Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak
didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya
dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan
memeliharanya. Wujud yang qadim inilah yang disebut Allah.
c. Jenis
Ketiga, Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua
jenis di atas, yaitu wujud yang buka dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman,
tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam
semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang
kedua. Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita
saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua
karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang
mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut
baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka
katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak
benar-benar qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar
qadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.
2.
Pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang partikular (juz’iyat)
Masalah
Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan terhadap
hal-hal kecil. Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui
hal-hal (peristiwa-peristiwa) rincian, kecuali dengan cara yang umum. Alasan
mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah,
sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain,
perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini
berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi
(mustahil).
Kritik
al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya
mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha
Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat
dibenarkan. Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena
kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya.
Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah
mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu
yang secara rinci.
Mengenai
penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal
yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah
pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu.
Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal
kecil tersebut.
Ibn
Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali.
Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filosof
tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa
pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan
pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan
antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan
dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh
melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia
tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang
dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh
melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juz’iyyah)
yang materi itu.
3.
Kebangkitan jasmani
Masalah
yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah
yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena
mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik)
manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut
tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik
manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam
bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan
dalam bentuk fisik yang tidak sempurna. Menurut Ibnu Rusyd, filosof mengakui
tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi
mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya
rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti,
kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filosof
tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filosof hanya
berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.
Dari
uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan antara Ibn
Rusyd dengan al-Ghazali berkisar sekitar interprestasi tentang
ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran
dasar itu sendiri. Baik Ibn Rusyd maupun al-Ghazali tetap mengakui Tuhan
sebagai pencipta alam diciptakan. Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, tuduhan
kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam tiga
butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara
al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap
ayat-ayat kebangkitan akhirat misalnya. Hal ini lumrah terjadi di kalangan
ulama Islam. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan
mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Ini sesuai sabda Nabi
“Jika seorang benar dalam ijtihadnya ia mendapat dua pahala, dan jika salah,
mendapat satu”. Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim karena
melanggar ijma’, maka dalam pemikiran tidak terjadi ijma’ ulama secara pasti.