METODE
PENAFSIRAN AL-MÂWARDÎ DALAM KITAB “AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN”
I.
PENDAHULUAN
Studi tafsir al-Qur’an selalu berkembang sejak
al-Qur’an diturunkan hinggga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang
sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata
bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini
merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu
menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan
mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan
konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi
perkembangan tafsir.
Munculnya berbagai macam corak dan karakteristik
penafsiran disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya perbedaan
situasi sosio-historis dimana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik
yang terjadi ketika mufassir melakukan kerja penafsiran juga sangat kental
mewarnai produk-produk penafsirannya. Selain itu, perbedaan dan corak
penafsiran itu juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh
masing-masing mufassir.
Faktor-faktor tersebut dikategorikan sebagai faktor eksternal. Sedangkan secara
internal, munculnya madzab-madzab tafsir antara lain berupa cakupan makna yang
dikandung oleh al-Qu’ran. Al-Qur’an itu memang multiple understanding,
mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga pluralitas penafsiran
al-Qur’an dipandang sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah dan moral.
Di antara ulama tafsir yang turut memperkaya turâts
Islam adalah Abû al-Hasan al-Mâwardi (974-1058 M / 364-450 H). Al-Mâwardi
dipandang sebagai tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik,
seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir
al-Qur’an. Dalam bidang ilmu tafsir al-Qur’an, al-Mâwardi meninggalkan karya
besarnya yang populer dengan nama al-Nukat wa al-‘Uyûn. Untuk mengetahui
lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan kitab ini, terutama bagaimana
metode pengarangnya dalam menulis kitab ini, maka penulis mengangkat sebuah
pembahasan dalam bentuk makalah dengan judul: “Metode Penafsiran
Al-Mâwardi dalam Kitab Al-Nukat wa Al-‘Uyûn”. Kajian ini akan diawali
dengan pembahasan tentang biografi al-Mâwardi, dan dilanjutkan dengan
pembahasan tentang kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn karangan al-Mâwardî.
II. PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
AL-MÂWARDÎ
1. ASAL USUL
KELUARGA AL-MÂWARDI
Nama lengkap al-Mâwardî adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn
Muhammad ibn Habîb al-Mâwardî al-Bashrî al-Syâfi’î al-Baghdâdî[2][2]. Al-Mâwardî merupakan nisbat kepada
mâ’ al-ward (mâ’: air; al-ward: mawar), yaitu sebutan
untuk profesi yang digeluti oleh keluarga al-Mâwardî sebagai pembuat dan
penjual air bunga mawar. Sedangkan
al-Bashrî merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu kota Bashrah.
Sebutan al-Syâfi’î menunjukkan bahwa ia merupakan pengikut mazhab Syâfi’i,
bahkan dianggap sebagai salah seorang ulama Syafi’iyyah yang terkemuka. Sementara al-Bagdâdî merupakan
nisbat kepada tempat al-Mâwardi menghabiskan lebih banyak masa hidupnya hingga
ia wafat di sana, yaitu kota Baghdad.
Al-Mâwardi juga mempunyai nama kun-yah (julukan),
yaitu: Abû al-Hasan, dengan laqb (gelar) aqdhâ al-qudhât (semacam
hakim agung sekarang). Yâqût al-Hamawî menyebutkan bahwa gelar aqdhâ
al-qudhât ini diterimanya pada tahun 429 H.
Al-Mâwardi lahir di kota Bashrah pada tahun 364 H,
atau bertepatan dengan tahun 974 M. Walaupun lahir di kota Bashrah, namun ia tumbuh
dan besar di kota Baghdad. Ia lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di kota
Baghdad, hingga akhirnya di kota ini pula ia wafat. Ia wafat pada tahun 450 H,
atau bertepatan dengan tahun 1058 M, dalam usia 86 tahun.
2. SITUASI
SOSIO-HISTORIS PADA MASA AL-MÂWARDÎ
a) Aspek
Politik Pemerintahan
Telah diuraikan sebelumnya bahwa al-Mâwardî hidup dari
tahun 364 H sampai dengan tahun 450 H. Ini berarti ketika itu pemerintah Islam
berada di bawah kekuasaan dinasti Buwaihiyyah. Dinasti Buwaihiyyah berhasil
menaklukkan daerah-daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan dinasti
‘Abbasiyah. Namun dengan kekuatan militer yang dimiliki, dinasti Buwaihiyyah
dengan mudah menaklukkan daerah-daerah tersebut.
Dinasti Buwaihiyyah tidak puas hanya dengan
menaklukkan wilayah geografis saja, mereka juga berambisi menaklukkan para
khalifah ‘Abbasiyah itu sendiri. Pada akhirnya, mereka berhasil membuat para
khalifah hanya menjadi lambang saja, sementara kekuasaan yang sesungguhnya
berada di tangan dinasti Buwaihiyyah. Ini berarti
kekhalifahan di Baghdad sudah berada di bawah bayang-bayang para amir Buwaihi.
Maka secara de facto, mereka inilah yang berkuasa menentukan kebijakan
negara, sedangkan khalifah hanya dijadikan sebagai simbol.
Para amir dinasti Buwaihî merupakan penganut mazhab
syi’ah yang sangat fanatik. Mereka sering mengadakan perayaan-perayaan dan
acara-acara keagamaan yang banyak mengandung bid’ah, seperti perayaan hari ghadîr
khum dan peringatan hari ‘âsyûrâ’. Para wanita ketika itu juga
diperintahkan untuk keluar dari rumah dan pergi ke pasar dalam keadaan kepala
tertunduk sebagai tanda penyesalan, sambil memukul-mukul dada dan merobek-robek
selendangnya. Dan hal-hal lain yang penuh dengan praktek bid’ah dan khurafat
syi’ah. Semua itu dilakukan atas perintah para amir dinasti Buwaihiyyah,
terutama pada masa pemerintahan Mu’iz al-Daulah ibn Buwaih.
b) Aspek Sosial
Kemasyarakatan
Aspek sosial kemasyarakatan sangat erat kaitannya
dengan aspek politik pemerintahan. Jika aspek politik berkaitan dengan
pemerintah dan penguasa, maka aspek sosial kemasyarkatan merupakan hal-hal yang
berkaitan dengan kondisi internal masyarakat tersebut. Tentu kondisi sosial
kemasyarakatan di suatu daerah mempengaruhi kondisi pemerintahan yang ada, baik
positif maupun negatif. Adapun kondisi sosial kemasyarakatan yang terjadi pada
masa al-Mâwardî adalah sebagai berikut:
-
Mulai
melemahnya mazhab ahlu al-sunnah dan mulai munculnya kekuatan syi’ah di bawah
kekuasaan dinasti Buwaihiyyah.
-
Mulai
hilangnya wibawa sulthân dan merajalelanya kriminalitas berupa pencurian,
perampasan dan demonstrasi-demonstrasi di dalam negeri.
-
Para sulthân
dan amîr lebih menyibukkan diri dengan kemawahan duniawi, dan tidak lagi
memperhatikan kepentingan rakyat.
c) Aspek Ilmu
Pengetahuan
Telah diakui
bahwa pada masa dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mencapai puncak
kejayaaannya atau sering diistilahkan dengan al-‘ashru al-dzahabî (masa
keemasan). Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat di segala bidang. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti
Buwaihi, di antaranya:
1. Warisan
tradisi dari dinasti Abbasiyah awal yang mendorong para pemikir abad berikutnya
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, seperti banyaknya penterjemahan,
penulisan karya ilmiah serta pen-tahqîq-an kitab-kitab sebelumnya pada
masa Hârûn al-Rasyîd dan al-Makmûn.
2. Perhatian
khalifah dan amîr yang begitu besar terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan. Ini dapat dilihat pada masa ‘Adhdhu al-Daulah yang memberikan
honorarium yang besar terhadap para fuqahâ’, muhadditsîn,
mutakallimîn, ahli nahwu, pujangga, sastrawan, dokter, ahli hisab,
arsitek dan lain-lain.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan itu berlangsung
cukup lama hingga masa pemerintahan dinasti Abbasiyah berakhir. Pada masa
inilah al-Mâwardî dan sejumlah ulama lainnya hidup, Mereka ahli dalam berbagai
disiplin ilmu, seperti sastra, fiqh, hadis, dan tafsir. Hal ini memberikan
pengaruh besar bagi khazanah intelektual ketika itu.
3. RIWAYAT
PENDIDIKAN DAN KARIR AL-MÂWARDÎ
a) Riwayat
Pendidikan
Dalam masa pendidikannya, al-Mâwardi tidak mengunjungi
banyak negeri sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu.
Ia hanya melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu kepada ulama-ulama yang ada
di sekitar Bashrah dan Baghdad saja.
Pada awalnya al-Mâwardî menempuh pendidikannya di
daerah kelahirannya sendiri, yaitu Bashrah. Di kota tersebut al-Mâwardî untuk
pertama kali belajar kepada Abû al-Qâsim al-Shaimirî, seorang ulama terkenal
Bashrah ketika itu. sempat mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal,
seperti Muhammad al-Munqîrî, Hasan ibn ‘Alî al-Jabalî, dan sebagainya. Menurut pengakuan muridnya, Ahmad
ibn ‘Alî al Khathîb al-Baghdâdî, bahwa dalam bidang al-Hadîts, al-Mâwardî
termasuk “tsiqat”.
Setelah beberapa lama belajar di Bashrah, al-Mâwardi
kemudian merantau ke kota Baghdad untuk melanjutkan pendidikannya. Di kota
inilah ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari dan mendalami
berbagai ilmu keislaman dari ulama-ulama besar di sana. Di Baghdad, ia bertemu
dengan Imam Za’farâni, dan belajar hadis serta fiqh darinya. Ia juga bergabung
dengan halaqah-halaqah pengajian Syeikh Abû al-Hâmid al-Isfarâyaynî untuk
menambah pengetahuannya. Berkat asuhan syeikh Abû al-Hamîd
al-Isfarâyaynî ini, al-Mâwardî kemudian tampil sebagai salah seorang ahli fiqih
yang terkemuka dari mazhab Syafi’i. Keahlian al-Mâwardî selanjutnya juga dalam
bidang sastra dan sya’ir, nahwu, filsafat dan ilmu sosial, namun belum dapat
diketahui secara pasti dari mana ia mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.
b) Karir
Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam,
al-Mâwardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim di beberapa kota,
seperti di Ustuwa dalam kawasan Naisâbûr (daerah Iran sekarang) dan di Baghdad.
Dalam hal ini al-Mâwardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk
menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Syafi’i, yang selanjutnya dinamakan al-Iqra’.
Pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M), karir al-Mâwardi
meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad.
Pada tahun 423 H, al-Qâdir wafat. Maka anaknya
al-Qâ’im menggantikannya sebagai khalifah. Karir al-Mâwardi pada masa khalifah
al-Qâ’im (1031-1074 M) semakin meningkat. Ia mulai menampakkan perannya yang
penting dalam pemerintahan khalifah. Ia senantiasa berkecimpung dalam politik
pemerintahan dengan menjadi utusan khalifah untuk mengambil bai’ah dari rakyat.
Di samping itu, pada saat itu juga ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik
untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan
berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi dan Seljuk (Iran). Pada
waktu itu ia mendapat gelar sebagai aqdhâ al-qudhât (hakim agung).
Sepanjang al-Mâwardî menjabat sebagai qâdhî, ia
dapat mengetahui keadaan keseharian masyarakat umum dan berinteraksi dengan
mereka lebih dekat lagi. Ia juga dapat menyelami dan memutuskan perkara-perkara
adat kebiasaan untuk disesuaikan dengan panduan syar’i. Dari jabatan qâdhî,
pangkatnya dinaikkan ke jabatan yang lebih tinggi dalam tugas pemerintahan
negara.
Di sinilah ia dapat mendekati pembesar-pembesar dan
pemimpin negara. Mereka menjadikan al-Mâwardî sebagai tempat rujukan ketika
menghadapi berbagai persoalan. Khalifah al-Qâ’im pernah mengutus al-Mâwardî
tahun 428 H untuk menjadi penengah antara Jalâl al-Daulah dengan Abû Kalijar.
Melalui perundingan inilah perdamaian antara kedua belah pihak pada tahun 429 H
terlaksana. Dalam majelis-majelis resmi kerajaan, al-Mâwardî senantiasa
mendapat tumpuan dan kedudukan yang tinggi di kalangan pembesar-pembesar
negara, seperti pada pernikahan khalifah Amru Allâh dengan Khadijah binti Akhi
Sulthân Ta’gharbalak pada tahun 448 H.
4. GURU-GURU
AL-MÂWARDÎ
Walaupun al-Mâwardî tidak menuntut ilmu ke berbagai daerah, namun ia telah
belajar kepada banyak ulama di sekitar Bashrah dan Baghdad. Di antara guru-guru
al-Mâwardi adalah:
a) Al-Shaimirî, nama
lengkapnya adalah: Abû al-Qâsim ‘Abd al-Wâhid ibn al-Husein al-Bashrî.
Al-Mâwardi belajar darinya ilmu fiqh. Al-Shaimirî wafat pada tahun 386 H.
b) Al-Isfirâyanî, nama
lengkapnya adalah: ‘Abd Allâh Muhammad al-Bukhârî, Al-Syaikh al-Imâm Abû
Muhammad al-Bâqî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu fiqh. Al-Bâqî wafat pada
bulan Muharram tahun 398 H.
c) Al-Hasan ibn
‘Alî ibn Muhammad al-Jabali. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu hadis.
d) Ja’far ibn
Muhammad al-Fadhl ibn ‘Abd Allâh Abû al-Qâsim al-Daqâq, atau lebih populer
dengan sebutan Ibn al-Mârastânî al-Baghdâdî. Al-Mâwardi belajar darinya
ilmu hadis. Ia wafat pada tahun 387 H.
e) Muhammad ibn
‘Addiy ibn Zuhr al-Munqîrî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu hadis.
f) Muhammad ibn
al-Mu’allâ ibn ‘Ubaid Allâh, Abû ‘Abd Allâh al-Asadî al-Uzdî al-Nahwî,
al-Lughawî. Al-Mâwardi belajar darinya ilmu bahasa Arab.
5. MURID-MURID
AL-MÂWARDÎ
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai qâdhî, al-Mâwardi
juga sempat meluangkan waktunya untuk mengajar selama beberapa tahun di Bashrah
dan Baghdad. Di antara murid-muridnya adalah:
a) Al-Khathîb
al-Baghdâdî, nama lengkapnya adalah: Abû Bakr Ahmad ibn Tsâbit
ibn Ahmad ibn Mahdî, seorang al-hafîzh dan ahli hadis terkenal. Ia wafat
tahun 463 H.
b) Ibnu Khairûn, nama
lengkapnya adalah: Abû al-Fadhl Ahmad ibn al-Husein, atau lebih populer dengan
sebutan Ibnu al-Bâqillânî. Ia wafat pada tahun 488 H.
c) ‘Abd
al-Malik ibn Ibrâhîm ibn Ahmad Abû al-Fadhl al-Hamdzânî, atau lebih populer
dengan sebutan al-Maqdisî. Ia wafat pada tahun 489 H.
d) ‘Alî ibn
al-Husein ibn ‘Abd Allâh al-Rab’î, atau lebih populer dengan sebutan Ibnu
‘Arabiyyah. Ia wafat pada tahun 502 H.
e) Muhammad ibn
Ahmad ibn ‘Abd al-Bâqî ibn al-Husein ibn Muhammad ibn Thûq ‘Abd al-Fadhâ’il
al-Rab’î al-Mûshilî. Ia wafat pada tahun 494 H.
f) Ahmad ibn
‘Abd Allâh ibn Muhammad ibn Hamdân, atau lebih populer dengan sebutan Ibnu
Kâdisy al-Baghdâdi. Ia wafat tahun 526 H.
g) Ahmad ibn
‘Alî ibn Badrân Abû Bakr al-Hilwânî. Di samping sebagai murid,
al-Mâwardi juga sempat berguru kepada al-Hilwâni dalam bidang ilmu hadis. Ia
wafat tahun 507 H.
h) ‘Abd
al-Rahmân ibn ‘Abd al-Karîm ibn Hawâzin, Abû Manshûr al-Qusyairî. Di
samping sebagai murid, al-Mâwardi juga sempat berguru kepada al-Qusyairî dalam
bidang ilmu hadis. Ia wafat tahun 482 H.
6. PANDANGAN
ULAMA TERHADAP AL-MÂWARDÎ
a) Mazhab Fiqh
Al-Mâwardî
Al-Mâwardî merupakan seorang ulama
yang ulung dan seorang ahli fiqih bermazhab Syafi’i. Tidak hanya itu, ia
juga dianggap sebagai ulama pembela mazhab, mempunyai intelektualitas tinggi
bahkan menjadi salah satu tokoh dalam mazhab Syafi’i itu sendiri. Kredibilitas
al-Mâwardi dalam hifzh (hafalan hadis), fiqh, dan ke-‘adâlah-an
telah diakui oleh banyak ulama, seperti Abû Ishâq al-Syirâzî, al-Khathîb
al-Baghdâdî, al-Subkî, dan lain-lain.
Abû Ishâq al-Syirâzî mengatakan:
"كان حافظا
للمذهب".
“Ia
adalah seorang pembela mazhabnya”.
Tentang kedudukan al-Mâwardî dalam
mazhab fiqih, al-Khathîb al-Baghdâdî mengatakan bahwa gurunya tersebut
merupakan seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i yang terkemuka, sebagaimana
tercantum dalam kitab Târîkh Baghdâd berikut:
"كان من
وجوه الفقهاء الشافعيين،وجعل إليه ولاية القضاء ببلدان كثيرة"
“Ia merupakan salah seorang ahli fiqh
mazhab Syafi’i yang terkemuka, dan ia menjadikan mazhabnya itu sebagai pedoman
dalam urusan kehakiman di berbagai daerah.
Tentang keahlian al-Mâwardî dalam
bidang al-hadîts, al-Baghdâdi mengatakan: “كتبت عنه وكان
ثقة”
(hadisnya dituliskan/diakui periwayatnya, karena ia adalah seorang tsiqah).
Singkatnya, al-Mâwardî merupakan
seorang ulama yang mempunyai reputasi tinggi dan keilmuan yang luas dalam
segala bidang. Dalam kitab Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, al-Subkî
mengatakan: “Al-Mâwardi merupakan seorang imam yang mulia, mempunyai
kedudukan yang tinggi dan kemampuan intelektual yang terbentang luas dalam
mazhabnya, serta menguasai segala bidang ilmu.”
b) Mazhab
Teologi (‘Aqidah) Al-Mâwardî
Sungguhpun al-Mâwardî tergolong sebagai penganut
mazhab Syafi’i, namun dalam bidang teologi ia juga memiliki pemikiran yang
bercorak rasional. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ibn al-Shalâh yang mengatakan bahwa dalam
beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara Ahli al-Sunnah dengan
Mu’tazilah, al-Mâwardî cenderung kepada Mu’tazilah. Bahkan dalam kitab Mîzân
al-I’tidal, Imam al-Dzahabi berkata tentang al-Mâwardî: “Shaduq pada
dirinya sendiri, tetapi ia seorang penganut Mu’tazilah.” Begitu juga dalam kitab al-Mufassirûn
Hayâtuhum wa Manhajuhum”, sebuah kitab karya Muhammad ‘Alî Iyâzî yang
membahas biografi mufassir dari abad ke-3 sampai abad ke-15 H. Di sana dengan
terang-terangan penulis mencantumkan mazhab al-Mâwardî dengan “الشافعي
المعتزلي”. Maksudnya, al-Mâwardî dalam bidang
fiqh bermazhab Syafi’i, dan dalam bidang teologi menganut paham Mu’tazilah.
Tuduhan seperti itu disanggah oleh banyak ulama.
Al-Subki misalnya, seperti yang dikutip oleh al-Suyûthi dalam kitab Thabaqât
al-Mufassirîn, membantah bahwa al-Mâwardi adalah penganut Mu’tazilah. Hal senada juga diungkapkan oleh
Ibnu Hajar al-‘Asqalâni bahwa tuduhan Mu’tazilah tidak pantas dialamatkan
kepada al-Mâwardi.
Sementara itu, Muhammad al-Hamûd al-Najdî dalam kitab
ringkasan metodologi tafsirnya mengistilahkan aqidah al-Mâwardî dengan: “مؤول أشعري” (pentakwil
yang berteologi Asy’arî). Walaupun al-Najdî tidak menjelaskan
maksud pernyataannya ini, namun dapat dipahami bahwa al-Mâwardî berteologi
Asy’arî. Dalam metodologi kalam asy’arî, di samping menggunakan sumber primer
berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah, juga menggunakan metode
rasional. Hal ini pula yang tampak dalam teologi al-Mâwardî, di mana ia tidak hanya
menggunakan dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi juga menggunakan ijtihad
(metode rasional). Dengan kata lain, ia menggunakan akal dan naqal secara
seimbang. Selain itu, teologi asy’arî pada hakikatnya merupakan bentuk
kesinambungan dari faham Sunnî. Paham sunnî dalam Islam disebut
juga “Ahli Sunnah wa al-Jamâ’ah”, dengan watak utamanya netral dalam politik
dan moderat dalam faham keagamaan. Agaknya,
paham ini juga pantas dialamatkan pada al-Mâwardî, sehingga ia pun dapat pula
dikatakan bahwa ia menganut paham sunnî (ahli sunnah wa al-jamâ’ah).
7. KARYA-KARYA
AL-MÂWARDÎ
Selain sebagai
seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan pemerintahan dan
mengajar, al-Mâwardi juga tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan
karya-karya tulisannya dengan ikhlas. Menurut cacatan sejarah bahwa al-Mâwardi
memiliki karya ilmiah tidak kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat
dibagi ke dalam tiga kelompok ilmu pengetahuan.
a) Pertama, kelompok
pengetahuan agama
Karya al-Mâwardi yang termasuk ke dalam kelompok ini
antara lain kitab tafsir berjudul “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Buku
ini yang sedang dikaji dalam pembahasan kali ini. Masih dalam bidang tafsir dan
‘ulûm al-Qur’an, al-Mâwardî mengarang kitab “Amtsâl al-Qur’ân”.
Selanjutnya buku berjudul “al-Hâwî al-Kabîr”, yaitu buku fiqih dalam
mazhab Syafi’i yang memuat 4000 halaman dan disusun dalam 20 bagian. Menurut
informasi, buku ini sedang dikumpulkan naskahnya yang tersebar di berbagai
negara Arab untuk dipublikasikan. Masih juga dalam bidang pengetahuan agama,
tercatat kitab “al-Iqra’” yang berisi ringkasan dari kitab Al Hawy dan
ditulis dalam 40 halaman. Kemudian kitab “Adab al-Qâdhî” yang naskahnya
berada di perpustakaan Sulaimaniyah di konstanturiah; dan kitab “A’lam
al-Nubuwwah” yang naskahnya masih tersimpan di Dâr al Kutub al-Mishriyyah.
b) Kedua, kelompok
pengetahuan tentang politik dan kenegaraan
Buku yang temasuk ke dalam kelompok pengetahuan
tentang politik dan ketatanegaraan ini adalah “al-Ahkâm al-Sulthâniyyah”,
“Nashîhat al-Muluk”, “Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafar” dan “Qawânîn
al-Wizârah wa al-Siyâsât al-Malik”. Kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah termasuk
karya al-Mâwardî yang paling populer di kalangan dunia Islam. Buku ini berisi
tentang pokok-pokok pikiran mengenai ketatanegaraan seperti tentang jabatan
khalifah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat sebagai khalifah dan
para pembantunya, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah serta
perangkat-perangkat ketatanegaraan lainnya. Buku ini telah diterbitkan di
beberapa negara dan telah dialih bahasakan. Sementara itu kitab Nashîhat
al-Muluk berisi nasihat bagi seorang pemimpin. Sedangkan Tashîl al-Nazhar wa
Ta’jîl al-Zafar adalah sebuah buku yang berisi masalah politik dan ragam
pemerintahan. Selanjutnya kitab Qawânîn al-Wizârah wa al-Siyâsât al-Malik
berisi uraian mengenai ketentuan kementrian dan politik raja.
c) Ketiga, kelompok
pengetahuan bidang akhlak
Buku yang termasuk ke dalam kelompok pengetahuan
bidang akhlak ini diantaranya kitab “al-Nahwu”, “al-Awsath wa
al-Hikam” dan “al-Bughyah al-‘Ulyâ fî Adab al-Dunyâ wa al-Dîn”. Buku
al-Nahwu berisis uraian mengenai tata bahasa dan sastra yang telah diteliti
oleh Yâqût al-Hamamî. Sedangkan kitab al-Awsath wa al-Hikam berisikan 300
hadits, 300 hikmah, 300 buah syair. Sementara itu kitab al-Bughyah al-‘Ulyâ fî
Adab al-Dunyâ wa al-Dîn merupakan kitab yang amat populer hingga sekarang dan
dikenal sebagai kitab Adab al-Dunyâ wa al-Dîn.
Kitab Adab al-Dunyâ wa al-Dîn dinilai sebagai buku
yang amat bermanfaat. Buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di
Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Tsanawiyah selama lebih dari 30
tahun. Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa.
Sementara itu seorang ulama Turki bernama Hawâ’is Wafâ ibn Muhammad ibn Hammâd
ibn Khalîl ibn Dâwûd al-Zarjani pernah mensyarahkan buku ini dan
diterbitkan pada tahun 1328 H.
B. STUDI KITAB
“AL-NUKAT WA AL-‘UYÛN” KARYA AL-MÂWARDÎ
1. DATA UMUM
KITAB
Kitab yang akan dibahas dalam kajian ini adalah kitab “al-Nukat
wa al-‘Uyûn” karangan al-Mâwardî. Data selengkapnya tentang kitab ini dapat
dilihat sebagai berikut:
Nama Kitab
|
:
|
“Al-Nukat
wa al-‘Uyûn” (juga populer disebut “Tafsîr al-Mâwardî”)
|
Pengarang
|
:
|
Abû
al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mâwardî al-Bashrî
|
Bahasa
|
:
|
Arab
|
Jumlah
Jilid
|
:
|
6 Jilid
|
Jumlah
Halaman
|
:
|
-
548
Halaman (Jilid I)
-
512
Halaman (Jilid II)
-
477
Halaman (Jilid III)
-
480
Halaman (Jilid IV)
-
531
Halaman (Jilid V)
-
380
Halaman (Jilid VI)
|
Penerbit
|
:
|
Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah
|
Tempat
Terbit
|
:
|
Beirut,
Libanon
|
Tahun
Terbit
|
:
|
1412
H/1992 M
|
Cetakan
|
:
|
Ke-1
|
Ditahqîq oleh
|
:
|
Al-Sayyid
ibn ‘Abd al-Maqshûd ibn ‘Abd al-Rahîm
|
2. SEBAB
PENAMAAN
Kitab ini berjudul “al-Nukat wa
al-‘Uyûn”, atau biasa juga disebut dengan “Tafsîr al-Mâwardî”.
Sebutan “Tafsîr al-Mâwardî” bukanlah sebutan asli bagi kitab, melainkan
sebutan yang populer di tengah-tengah masyarakat. Sudah biasa terjadi pada
kitab-kitab umumnya, di mana nama kitab sering dinisbatkan kepada nama pengarangnya.
Lain halnya dengan sebutan “al-Nukat
wa al-‘Uyûn”, asal usul penamaan kitabnya ini tidak dapat diketahui dengan
mudah, karena tidak ada pernyataan langsung dari pengarang mengapa ia menamakan
kitabnya dengan “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Selain itu, tidak dapat pula
diketahui dengan pasti apakah penamaan ini berasal dari al-Mâwardî sendiri atau
bukan. Namun al-Dzahabî dalam kitabnya “Siyar A’lâm al-Nubalâ’”
mengatakan bahwa al-Mâwardî-lah yang menamakan kitabnya “al-Nukat wa
al-‘Uyûn”. Berikut pernyataannya:
"وله
تفسير القرآن سماه : "النكت"..."
“Ia
mempunyai kitab tafsir al-Qur’an yang ia beri nama:
‘al-Nukat’”.
Untuk menjelaskan pernyataannya ini,
al-Dzahabî kemudian melanjutkan:
وقيل: إنه لم يظهر شيئا من تصانيفه في حياته، وجمعها في
موضع، فلما دنت وفاته، قال لمن يثق به: الكتب التي في المكان الفلاني كلها تصنيفي،
وإنما لم أظهرها لأني لم أجد نية خالصة، فإذا عاينت الموت، ووقعت في النـزع، فاجعل
يدك في يدي ، فإن قبضت عليها وعصرتها ، فاعلم أنه لم يقبل مني شيء منها، فاعمد إلى
الكتب، وألقها في دجلة وإن بسطت يدي، فاعلم أنها قبلت. قال الرجل: فلما احتضر وضعت يدي في يده، فبسطها، فأظهرت كتبه.
Dari keterangan di atas, ada pendapat yang mengatakan
bahwa karya-karya tulis al-Mâwardî belum muncul di masa hidupnya. Namun ia
hanya sebatas mengumpulkan dan menyimpan karya-karyanya itu pada suatu tempat.
Maka menjelang kematiannya, ia berwasiat kepada salah seorang yang ia percayai:
“Kitab-kitab yang ada di tempat si Fulan itu merupakan hasil karya tulisku.
Hanya saja aku belum pernah menampilkannya (di khalayak umum) karena aku
merasakan niatku belum ikhlas. Saat ini aku berada di ambang kematian, dan kegelisahan
menggelayutiku (tentang kitab-kitab itu). Taruhlah tanganmu di tanganku. Pada
saat aku menggenggamnya dengan kuat, maka artinya tidak satupun kitab-kitab itu
yang diterima dariku. Segeralah cari kitab-kitab itu, dan temukanlah ia pada
suatu peti. Begitu aku lepaskan genggaman tanganku, maka artinya kitab-kitab
itu telah diterima.”
“Orang
itupun berkata: “Ketika ia baru saja meninggal, aku letakkan tanganku di
tangannya, lalu lepaslah genggaman tangannya. Tak lama kemudian, aku tampilkan
kitab-kitabnya (kepada khalayak umum).”
Jika pernyataan yang dikutip oleh al-Dzahabi ini benar
adanya, maka hal ini menjadi bukti bahwa al-Mâwardî sendirilah yang menamakan
kitabnya dengan “al-Nukat wa al-‘Uyûn”. Ditambah lagi, kondisi kitab ini
telah selesai ditulis oleh al-Mâwardî di kala ia masih hidup, maka tidak
mungkin seseorang yang telah menyelesaikan sebuah kitab tidak menuliskan judul
kitab yang ia tulis itu.
Selain itu, jika dilihat dari pernyataan orang
kepercayaan al-Mâwardî yang mengatakan bahwa begitu al-Mâwardî wafat, ia
langsung me-launching karya-karya tulis al-Mâwardî ke khalayak umum.
Dari sini tampak tidak adanya aktifitas penyaduran atau perubahan judul kitab
yang dilakukan oleh orang lain setelah al-Mâwardî wafat, karena al-Mâwardî
berpesan agar kitab-kitab tersebut segera di-launcing begitu ia wafat.
Maka wajar apabila orang yang diberikan wasiat tersebut segera menunaikannya,
tidak menunggu lama-lama dan tidak mengutak-atik kitab-kitab yang diwasiatkan
tersebut.
3. LATAR
BELAKANG PENULISAN
Untuk mengetahui latar belakang penulisan kitab ini,
setidaknya dapat dilihat dalam muqaddimah kitab yang ditulis oleh al-Mâwardî
sendiri sebagai berikut:
"... وجعل ما استودعه على
نوعين: ظاهراً جلياً وغامضاً خفياً يشترك الناس في علم جلية ويختص العلماء بتأويل
خفية حتى يعم الإعجاز، ثم يحصل التفاضل والامتياز. ولما كان ظاهر الجلي مفهوما
بالتلاوة، وكان الغامض الخفي لا يعلم إلا من وجهين: نقل واجتهاد. جعلت كتابي هذا
مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير ما غمض تصوره وفهمه..."
Dari keterangan di atas, dapat diketahui dengan jelas
hal-hal apa yang melatarbelakangi penulisan kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn. Berawal
dari fakta bahwa tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah
maknanya. Maka al-Mâwardî pun membagi ayat al-Qur’an ke dalam dua jenis: ada
ayat yang zhahîr dan jelas (ظاهر جليّ), sehingga
mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan ada pula ayat yang tersembunyi dan
sulit dipahami maknanya (غامض خفيّ), di
sinilah ulama berperan khusus untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap
ayat tersebut.
Kemudian al-Mâwardî melanjutkan perkataannya bahwa
terhadap ayat-ayat yang zhahîr dan jelas, dapat dipahami dengan hanya sekedar
membacanya saja. Namun terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami
maknanya, al-Mâwardî menawarkan dua cara, yaitu: naql (riwayat) dan ijtihâd
(rasional). Inilah yang membuat al-Mâwardî merasa terpanggil jiwanya untuk
ikut berkontribusi dengan cara menulis sebuah kitab yang memuat
kumpulan-kumpulan ta’wîl dan tafsîr terhadap ayat-ayat yang tersembunyi
dan sulit dipahami maknanya tersebut.
4. SUMBER
PENAFSIRAN
Dalam menulis kitab ini, al-Mâwardî mengambil
referensi kepada kitab-kitab ulama sebelumnya. Kitab-kitab yang menjadi rujukan
utama al-Mâwardî antara lain:
a. Kitab-Kitab
Tafsir
Kitab “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl
Ây al-Qur’ân” karangan Ibn Jarîr al-Thabarî merupakan kitab tafsir yang
menjadi referensi utama dalam tafsir Al-Mâwardî. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an
yang ditafsirkan al-Mâwardî merujuk kepada kitab al-Thabarî ini. Misalnya saja,
dalam menafsirkan Surat al-Nisâ’ [4]: 34 berikut:
... ...
“…pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka…”
Potongan ayat tersebut dikomentari oleh al-Mâwardî
dengan mengemukakan lima pendapat, dan pada point ke-5 al-Mâwardî
mengutip pendapat al-Thabarî sebagai berikut:
والخامس: هو أن يربطها بالهجار وهو
حبل يربط به البعير ليقرها على الجماع، وهو قول أبي جعفر الطبري.
Kelima, istrinya diikat dengan
“al-hajjâr”, yaitu sejenis tali pengikat unta agar ia tidak lepas ketika
pembuahan. Ini adalah pendapat Abû Ja’far al-Thabarî.
b. Kitab-Kitab
Qirâ’at
Al-Mâwardî sangat memperhatikan bidang qirâ’at di
dalam tafsirnya. Di dalam beberapa ayat, hampir tidak luput dari pembahasannya
tentang qirâ’at. Hanya saja, ia tidak menyebutkan satu pun nama kitab yang
menjadi rujukannya dalam bidang qirâ’at tersebut. Walaupun demikian, ia tetap
menyebutkan nama pengarang, sedangkan nama kitab tidak ia sebutkan.
Dalam bidang
qirâ’at, al-Mâwardî berpedoman kepada kitab-kitab yang mu’tabar, seperti kitab “al-Qirâ’ât”
karangan Abû ‘Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, kitab “al-Qirâ’ât” karangan
Abû Hâtim al-Sijistânî, termasuk juga kitab “Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân” karangan al-Thabarî yang memuat lebih dari 20 jenis
qirâ’at, dan lain-lain.
c.
Kitab-Kitab
Hadis/Atsar
Tafsîr al-Mâwardî didominasi oleh metode tafsîr bi
al-ma’tsûr, maka wajar bila kitab ini sangat memperhatikan riwayat hadis-hadis
Nabi ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Begitu juga dengan riwayat yang
berasal dari atsar shahabat, seperti ‘Alî ibn Abî Thâlib, ‘Abd Allâh ibn
Mas’ûd, ‘Abd Allâh ibn ‘Abbâs, dan lain-lain. Terkadang ia melontarkan kritikan
dan penolakan terhadap beberapa atsar shahabat tersebut. Misalnya: penolakannya
terhadap riwayat Ibn Mas’ûd yang tidak memasukkan Surat al-Falaq dan al-Nâs ke
dalam Surat-Surat al-Qur’an. Bahkan Ibn Mas’ûd mengatakan bahwa dua Surat itu
hanyalah do’a Rasul, bukan bagian dari al-Qur’an.
Dalam mengutip hadis, al-Mâwardî sering tidak
mencantumkan jalur sanad. Penghapusan jalur sanad bukanlah hal yang aneh dalam
kitab-kitab tafsir. Al-Thabarî misalnya, juga sering tidak mencantumkan jalur
sanad di dalam kitabnya. Sementara itu, tidak semua hadis yang dikutip oleh
al-Mâwardî bernilai shahîh; ada pula hadis hasan, bahkan di beberapa tempat
terdapat hadis dha’îf. Pembahasan lebih lanjut akan dibahas dalam sub bab “Kelebihan
dan Kekurangan Kitab”.
d. Kitab-Kitab
Bahasa dan Sastra
Aspek
kebahasaan merupakan aspek yang penting dan menjadi perhatian besar al-Mâwardî
dalam tafsirnya, bahkan ia banyak mengutip pendapat dari tokoh-tokoh bahasa
terkenal.
e.
Kitab-Kitab
Fiqh
Aspek fiqih juga menjadi perhatian yang cukup besar
oleh al-Mâwardî dalam tafsirnya. Hanya saja ia memaparkan persoalan fiqih ini
secara sederhana, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, sekalipun ia
mempunyai track and record yang cukup panjang di bidang ini, terutama
setelah ia menjabat sebagai aqdhâ al-qudhât (hakim agung). Di tambah
lagi, ia dianggap sebagai tokoh terkemuka di masanya dalam fiqih (mazhab
Syafi’i). Namun kemampuannya itu tidak ditampakkan secara nyata dalam
tafsirnya. Dalam banyak ayat, persoalan fiqih ia kemukakan dalam bentuk
minimalis. Jika diperhatikan, perhatiannya terhadap persoalan fiqih yang paling
menonjol, tampak pada dua surat yaitu Surat al-Baqarah dan al-Nûr.
Ketika mengemukakan persoalan fiqih dalam ayat-ayat
yang mengandung hukum, ia biasanya tidak menyebutkan dalil. Namun yang jelas,
ia bukanlah orang yang fanatik (ta’ashshub) mazhab, karena ia tidak
hanya berpegang kepada mazhabnya saja, melainkan juga menyebutkan berbagai
mazhab dari ulama-ulama fiqih yang lain seperti Abû Hanîfah, Imâm Mâlik, Imâm
Ibn Hazm al-Zhâhirî, al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn Abî Lailâ, al-Zuhrî, dan
lain-lain. Hanya saja ia tidak jarang sekali mengemukakan pendapat-pendapat dari
Imâm Ahmad ibn Hanbal. Agaknya ia terpengaruh dengan al-Thabari yang
berpendapat bahwa Imam Ahmad adalah seorang ahli hadis (muhaddits), bukan
seorang ahli fiqh (faqîh).
f.
Kitab-Kitab
Sejarah
Aspek sejarah juga dikemukakan oleh al-Mâwardî dalam
tafsirnya, hanya saja aspek ini mendapatkan porsi yang sedikit. Walau demikian,
al-Mâwardî mengutip dari para ahli sejarah melalui kitab-kitabnya yang
terkenal. Khusus dalam aspek sejarah, ia kebanyakan berpedoman kepada kitab “al-Sîrah
al-Nabawiyyah” karangan Imâm Ibn Ishâq, kitab “al-Maghâzî” karangan
al-Wâqidî, kitab “Murûj al-Dhahab” karangan
al-Mas’ûdî, kitab “al-Mubtada’”
karangan Wahab ibn Munabbih, dan lain-lain. Ia juga mengutip
dari Ibn Jarîr al-Thabarî ketika membahas tentang jumlah istri Rasulullah SAW
ketika wafat.
5. METODE
PENAFSIRAN
Produk penafsiran tidak berwajah tunggal, melainkan
sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan, motivasi, misi
yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan
masa dan lingkungan yang mengitari seorang mufassir. Berbagai metode dan corak
tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan
metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu.
Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahlīliy, ijmāliy,
muqāran dan mawdhū'iy.
Memperhatikan dengan seksama pembahasan dan uraian
keempat metode tafsir tersebut di atas dan mengaitkannya dengan penafsiran
al-Mâwardî dalam tafsir al-Nukat wa al-‘Uyûn-nya dapatlah
disimpulkan bahwa metode yang digunakannya masuk dalam metode tahlîlliy,
yaitu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala
makna yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam
al-Qur’an mushaf Usmani.
6. LANGKAH-LANGKAH
PENAFSIRAN
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam kitab ini,
setidaknya dapat diketahui melaui pernyataan al-Mâwardî dalam muqaddimah
tafsirnya sebagai berikut:
جعلت كتابي هذا مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير ما غمض تصوره وفهمه،
وجعلته جامعاً بين أقاويل السلف والخلف، وموضحاً عن المؤتلف والمختلف، وذاكراً ما
سنح به الخاطر من معنى يحتمل، عبرت عنه بأنه محتمل، ليتميز ما قيلب مما قلته ويعلم
ما استخرج مما استخرجته. وعدلت عما ظهر معناه من فحواه اكتفاء بفهم قارئه وتصور
تالية، ليكون أقرب مأخذاً وأسهل مطلباً. وقدمت لتفسيره فصولا ، تكون لعمله أصولا ،
يستوضح منها ما اشتبه تأويله، وخفي دليله.
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui metode yang
digunakan al-Mâwardî dalam kitabnya, yaitu:
a)
Menempuh
jalan ta’wil dan tafsîr. Ta’wil di sini sama dengan tafsir.
Ketika menafsirkan suatu ayat, al-Mâwardi terkadang
menggunakan istilah “تأويل”, misalnya yang terdapat dalam penafsiran
surat al-Baqarah ayat 11 berikut ini:
قوله تعالى:
"وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوا في الأَرضِ"، فيه ثلاثة تأويلات:
أحدها: أنه الكفر. والثاني: فعل ما نهى الله عنه ، وتضييع ما أمر بحفظه. والثالث:
أنه ممالأة الكفار. وكل هذه الثلاثة فساد في الأرض، لأن الفساد العدول عن
الاستقامة إلى ضدها.
Terkadang ia juga menggunakan istilah tafsîr,
seperti terdapat dalam penafsiran Surat al-Baqarah [2]: 249 berikut ini:
"وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ"، يعني بالنصرة والمعونة، وهذا تفسير
الآية عند جمهور المفسرين.
Hanya saja, al-Mâwardî lebih sering menggunakan
istilah ta’wîl dari pada tafsîr. Oleh sebab itu, al-Mâwardi
sering disebut dengan “Mu’awwil” (pentakwil), seperti yang disampaikan
oleh al-Najdî dalam kitabnya al-Qaul al-Mukhtashar al-Mubîn fî Manâhij
al-Mufassirîn.
b)
Menafsirkan
al-Qur’an dengan hadis/atsar (bi al-ma’tsûr)
Tafsîr al-Mâwardî tergolong ke dalam tafsîr bi
al-ma’tsûr. Maka dalam menafsirkan suatu ayat, ia selalu menyebutkan
riwayat-riwayat dari para sahabat, tetapi ia biasanya tidak menyebutkan
sanadnya. Seperti penafsiran terhadap terhadap surat al-Baqarah ayat 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”
Ayat di atas ditafsirkan oleh al-Mâwardi dengan
mengutip hadis tentang keutamaan puasa sebagai berikut:
روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «يَقُولُ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّومَ فَإِنَّهُ لِي
وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَلَخَلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِندَ اللهِ مَن
رِيحِ المِسْكَ».
c)
Melakukan tarjîh
(menguatkan salah satu pendapat)
Jika ada beberapa pendapat yang
berbeda, al-Mâwardî melakukan tarjîh, sejauh tidak kontradiktif dengan
pemahaman ayat. Hal ini terlihat seperti ketika al-Mâwardi menafsirkan surat
al-Baqarah ayat 87 berikut:
"وَأَيَّدْنَاهُ
بِرُوحِ القُدْسِ"، فيه ثلاثة تأويلات: أحدها: أن روح القدس الاسم الذي يحيي
به عيسى الموتى، وهذا قول ابن عباس. والثاني: أنه الإنجيل، سماه روحاً، كما سمى
الله القرآن روحاً في قوله تعالى: "وَكَذلِكَ أَوحَينَا إِلَيكَ رُوحاً مِنْ
أَمْرِنَا". والثالث: وهو الأظهر، أنه جبريل عليه السلام، وهذا
قول الحسن وقتادة، والربيع، والسدي، والضحاك.
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa al-Mâwardi melakukan satu bentuk tarjih, dengan istilah “وهو الأظهر” (ini
pendapat yang paling kuat).
d) Tidak menjelaskan
panjang lebar tentang perdebatan fiqh
Untuk kepentingan analisis dan
istinbath (penggalian) hukum. ia tetap mengemukakan persoalan fiqh dengan
sederhana, walaupun sebenarnya ilmu dan pengalamannya di bidang ini sangat
tinggi. Di samping itu, ia bukanlah seorang yang fanatik mazhab walaupun
sebenarnya ia penganut mazhab Syafi’i. Dalam penafsiran, ia tidak hanya
menyebutkan pendapat mazhabnya saja, melainkan juga menyebutkan berbagai mazhab
dari ulama-ulama fiqih yang lain seperti Abû Hanîfah, Imâm Mâlik, Imâm Ibn Hazm
al-Zhâhirî, al-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibn Abî Lailâ, al-Zuhrî, dan lain-lain.
7. CORAK
PENAFSIRAN KITAB
Corak secara sederhana berarti paham atau macam. Dalam hal
ini corak penafsiran adalah sekitar hubungan tafsir al-Qur’an dengan
kecenderungan yang dimiliki mufasir yang bersangkutan. Para ulama telah
mengelompokkan corak yang beragam dalam penafsiran, seperti corak bahasa
(lughawî), filsafat (falsafî), teologi (‘aqîdî), ilmiah (‘ilmî),
hukum (fiqhî), tasawuf (shûfî) dan sosial kemasyarakatan (al-adab
al-ijtimâ’î).
Untuk melihat corak tafsirnya, misalnya saja corak
fiqh dapat disebut bahwa al-Mâwardî tidak terikat dengan satu mazhab, walaupun
ia sebenarnya penganut mazhab Syâfi’i. Misalnya, dalam menafsirkan Surat
al-Baqarah [2]: 158, al-Mâwardî mengutip banyak pendapat ahli fiqh dari
berbagai mazhab berikut:
"فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْهِ أن يَطَّوَّفَ بِهِمَا"، ورفع الجناح من أحكام المباحث دون
الواجبات. فذهب أبو حنيفة على أنّ السعي بين الصفا والمروة غير واجب في الحج
والعمرة منسكاً بأمرين: أحدهما: قوله تعالى: "فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن
يَطَّوَّفَ بِهِمَا" ورفع الجناح من أحكام المباحات دون الواجبات. والثاني:
أن ابن عباس وابن مسعود قَرَء: "فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن لاَّ يَطَّوَّفَ
بِهِمَا". وذهب الشافعي، ومالك، وفقهاء الحرمين، إلى وجوب السعي في النسكين
تمسكاً بفحوى الخطاب ونص السنة، وليس في قوله: "فَلاَ جُنَاحَ" دليل على
إباحته دون وجوبه، لخروجه على سبب، وهو أن الصفا كان عليه في الجاهلية صنم اسمه
إساف ، وعلى المروة صنم اسمه نائلة...
Dari contoh di atas, al-Mâwardî mengemukakan perbedaan
pendapat antara Abû Hanîfah, Syâfi’î, Mâlik, dan ulama fiqh al-haramain
tentang persoalan wajib atau tidaknya sa’î dalam haji. Al-Mâwardî memaparkan
dalil Abû Hanîfah dari sudut pandang zahir ayat dan dari sudut aspek qirâ’at.
Ia tidak melakukan tarjîh (menguatkan satu pendapat atas pendapat yang
lain). Hanya saja ia menolak dalil Abû Hanîfah dalam rangka membela pendapat
Syafi’i.
Dalam persoalan teologis, misalnya menyangkut tentang
perbincangan ayât al-shifah, al-Mâwardî juga berpendirian seperti dalam
lapangan hukum Islam, yaitu: tidak terikat pada salah satu paham, bahkan ada kecenderungan
membiarkan paham tajassum “berkeliaran” dalam kitabnya. Ini terlihat
misalnya ketika menafsirkan QS. al-Furqan (25) : 59 pada lafaz istawā ala
al-‘arsy.
"ثُمَّ
اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ"، فيه قولان: أحدهما: معناه استوى أمره على العرش،
قاله الحسن. والثاني: استولى على العرش، كما قال الشاعر: قد اسْتَوَى بِشْرٌ على
العِرَاقِ ... مِن غَيْرِ سَيْفٍ ودم مُهْرَاقٍ.
Dalam tafsir di atas, al-Mâwardî menyebutkan dua
pendapat tentang makna istiwâ’, yaitu “استوى أمره” dan “استولى”. Hanya saja makna yang kedua ada unsur tajassum
di dalamnya. Namun al-Mâwardî membiarkan penafsiran ini berada di dalam
kitabnya.
8. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KITAB
a. Kelebihan Kitab
Berhubung kitab ini hampir sebagian besarnya merujuk
kepada tafsir al-Thabarî, maka tidak salah jika kitab ini mempunyai kelebihan
sama halnya dengan tafsir al-Thabarî. Kitab tafsir al-Mâwardî termasuk ke dalam
kitab terbaik dalam bidang tafsir bi al-ma’tsûr, bahkan dalam bidang
tafsir bi al-ra'yi, karena memadukan pendapat-pendapat dan mencari
pendapat yang paling kuat, di samping memuat istinbath dan wajah-wajah i’rab.
Jika kitab al-Thabarî dianggap sebagai kitab yang paling agung, paling shahih
dan paling lengkap, karena memuat pendapat sahabat dan tabi'in, maka tafsîr al-Mâwardî berada pada
urutan kedua di bawahnya.
b. Kekurangan Kitab
Salah satu kekurangan kitab ini adalah bahwa
al-Mâwardi telah memasukkan hadis-hadis yang lemah di dalam kitabnya. Ada
beberapa hadis yang dikutip oleh Al-Mâwardi dalam kitabnya berkualitas dha’if.
Hadis-hadis yang dipandang dha’if tersebut di antaranya:
a) Hadis dalam
penafsirannya terhadap “alif lâm mîm” pada ayat pertama surat al-Baqarah. Dalam
menafsirkan ayat ini, ia menyebutkan sebuah riwayat sebagai berikut:
عن الكلبي، عن أبي صالح، عن ابن عباس وجابر
بن عبد الله، قال: مَرَّ أبو ياسر بن أخطب برسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يتلو
فاتحة الكتاب وسورة البقرة: "الم. ذلِكَ الكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ..."
Tentang hadis di atas, para ulama telah sepakat akan
kedha’ifannya. Hadis tersebut dipandang dha’if oleh ulama-ulama seperti
al-Suyûthi dalam kitab al-Durr al-Mantsûr, al-Syaukâni dalam kitab “Fath
al-Qadîr”, Ibnu Katsîr, dan Ahmad Syâkir. Namun al-Mâwardi tampak sengaja
membiarkan hadis ini apa adanya, tanpa menjelaskan bahwa hadis-hadis tersebut
berkualitas dha’if di dalam kitabnya.
b) Hadis dalam
penafsiran terhadap Surat al-An’âm ayat 125. Hadis tersebut adalah sebagai
berikut:
روى عمرو بن
مرة عن أبي جعفر قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي المؤمنين أكْيَس؟ قال:
«أَكْثَرُهُم ذِكْراً لِلْمَوتِ وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَاداً»
قال: وسئل النبي صلى الله عليه وسلم عن هذه الآية: قالوا: كيف يشرح صدره يا رسول
الله؟ قال: «نُوْرٌ يُقْذَفُ فَيَنْشَرِحُ لَهُ وَيَنفَسِحُ » قالوا: فهل لذلك
أمارة يُعْرَفُ بها؟ قال: «الإِنَابَةُ إِلَى دَارِ الخُلُودِ وَالتَّجَافِي عَنْ
دَارِ الغُرورِ وَالاسْتِعْدَادِ لِلْمَوتِ قَبْلَ لِقَاءِ المَوتِ» وروى ابن
مسعود مثل ذلك.
Hadis di atas termasuk ke dalam kategori hadis mursal,
dan tidak bisa dijadikan hujjah. Namun hal ini dibiarkan begitu saja
oleh al-Mâwardi, ia tidak menjelaskan kualitasnya hadisnya, sehingga bisa
terjadi kesalahpahaman di kalangan pembaca. Hanya saja, Ibnu Katsîr juga
mencantumkan hadis ini dalam kitab tafsirnya, namun ia menjelaskan bagaimana
kualitas hadisnya lengkap dengan analisis terhadap sanadnya. Di akhir
kesimpulannya, Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadis ini ada yang mursal dan ada
yang muttashil, maka dapat saling menguatkan satu sama lain.
Ahmad Syâkir menolak pernyataan Ibnu Katsîr ini,
karena tidak ditemukan hadis di atas yang muttashil. Hadis tersebut
benar-benar dha’if, karena diriwayatkan oleh Abû Ja’far al-Hâsyimî. Ia dinilai
sebagai pendusta dan pemalsu hadis, maka semua hadis yang ia riwayatkan tidak
dapat saling menguatkan satu sama lain.
c) Hadis dalam
penafsiran terhadap Surat al-A’râf ayat 31:
وقد جاء في
الحديث : « أَصْلُ كُلِّ دَاءٍ البردة » ، يعني التخمة.
Hadis di atas dicantumkan oleh al-Mâwardi tanpa sanad.
Ahli hadis telah membahas hadis ini, seperti al-Manâwi menyebutkan dalam kitab
“Faidh al-Qadîr”, kitab yang mensyarah “al-Jâmi’
al-Shaghîr” karya al-Suyûthi. Al-Manâwi mengatakan bahwa hadis ini
dirawayatkan oleh Imam al-Dâruquthni dalam kitab “al-‘Ilal”. Di akhir
uraian ia menyatakan hadis ini lemah, sebagaimana al-Suyûthi juga menyatakan
demikian. Pendapat ini juga diikuti oleh ulama-ulama lain, seperti Badr al-Dîn
al-Zarkasyi, Ibnu al-Jauzi, Abû Hayyân, Ibnu ‘Adiy, dan al-‘Uqaili.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa point
berikut:
1. Abû al-Hasan
al-Mâwardi merupakan tokoh pewaris terpenting dalam tradisi keilmuan Islam
klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk
tafsir al-Qur’an. Dalam bidang tafsir al-Qur’an, al-Mâwardi meninggalkan karya
besarnya yang populer dengan nama kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn.
2. Al-Mawardi
merupakan penganut fiqh mazhab al-Syâfi`i, maka tafsirnya pun bercorak fiqhî.
Di samping itu, kecenderungannya menggunakan rasional dianggap oleh sebagian
ulama bahwa ia penganut paham Mu’tazilah, walaupun tidak sepenuhnya benar.
3. Berdasarkan
sumber penafsiran, tafsir al-Mâwardi termasuk ke dalam kelompok tafsir bi
al-ma’tsûr, dengan pendekatan tafsir tahlîlî. Kitab ini bercorak fiqhî
(hukum) dan ‘aqîdî (teologi).
4. Walaupun
banyak menuai pujian, namun tetap saja ada sebagian ulama yang mngkritik kitab
al-Nukat wa al-‘Uyûn. Salah satunya adalah terdapat beberapa hadis yang
dipandang dha’if dalam penafsirannya. Setelah diteliti, ternyata apa yang
disampaikan oleh pengkritik itu ada benarnya, untuk itu diperlukan
kehati-hatian dalam menerima hadis-hadis tersebut bagi pembaca.
B. Kritik dan
Saran
Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, semoga
bermanfaat dalam menambah wawasan keilmuan bagi pembaca, terutama dalam bidang
kajian tafsir. Penulis menyadari bahwa pepatah mengatakan “tak ada gading
yang tak retak”. Maka dalam makalah inipun masih terdapat kekurangan dan
kesalahan di sana-sini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi lebih sempurnanya makalah ini. Wallâhu A’lam.
No comments:
Post a Comment