Thursday, June 9, 2016

Makalah Orientalis Al-Qur'an tentang Perbedaan Pandangan Richard Bell dan John Wansbrough terhadap Al-Qur’an


       I.            PENDAHULUAN
Kajian islam dikalangan orientalis melahirkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda. Di kalangan orientalis yang menggunakan pisau analisis historis lebih banyak menyikapi Islam dengan nilai negatif, misalnya dengan menganggap Islam tak lebih dari bid’ah Kristen. Sedangkan pemahaman secara positif lebih banyak dilakukan para Islamolog, misalnya W. Montgomery Watt. Titik pandang yang berbeda tersebut didasari atas perbedaan cara pandang, pendekatan dan interpretasi yang dilakukan. Di sisi lain, terdapat pula pemahaman agama Islam menurut sosiolog, sekularis, humanis dan modernis Barat. Atas dasar pemahaman di atas, makalah ini akan mencoba menganalisis perbedaan pandangan Richard Bell dan John Wansbrough.

    II.            RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan dalam makalah ini adalah: Bagaimana analisis perbedaan  pandangan Richard Bell dan John Wansbrough terhadap al-Qur’an?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Biografi Richard Bell dan John Wansbrough
Richard Bell merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20, tak jelas waktu kelahirannya secara pasti. Dalam beberapa karyanya Ia adalah seorang pakar Lingusitik ketimuran terutama dalam bahasa Arab. Richard Bell menjadi dosen di Universitas di Edinburgh London, Inggris. Bell mengawali karirnya sebagai sarjana al-Quran lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di Universitas Edinburgh, The Origins of Islam in its Crhistian Environment (1926).
John Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karier akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departemen Sejarah di School of Oriental and Africa studies (SOAS University of London). Kemudian ia menjadi dosen bahasa Arab yang berada di naungan Departemen Sastra Timur Dekat. Ia sempat menjabat direktur di universitas tempat ia bekerja.[1]

B.     Pendekatan Richard Bell dan John Wansbrough terhadap al-Qur’an
Pendekatan Richard Bell  yang digunakan untuk meneliti al Qur’an diantaranya pendekatan filologisme. Pendekatan ini mulanya timbul sebagaiusaha kajian Barat melalui teks-teks ketimuran. Karenanya analisisLinguistik Timur sangat intens dalam kajian pendekatan ini.
Kemudian pendekatan historisme, pendekatan  historisme memandang bahwa NabiMuhammad menyatakan dirinya sebagai Nabi merupakan penyerupaan penyerupaan terhadap ajaran tentang Nabi dalam kitab Taurat dan Injil dan wahyu yang disampaikan muncul dan inspirasinya berdasarkankondisi lingkungan dan kitab suci sebelumnya. Richard Bell, misalnyamelihat pengaruh Kristen dalam al-Qur’an. Pengaruh itu pada mulanyabersifat polemik kemudian mengikuti salah satu sekte Kristen di Syiriayang menolak penyaliban Yesus Kristus.
Pendekatan Historisme – Fenomenologis. Pendekatan ini menggabungkan dua pendekatan sebelumnya,pendekatan ini dipergunakan oleh W. M. Watt, yang diklaim sebagaiislamolog yang objetif, terbuka dan memilki simpatik dengan Islam,melalui pendekatan ini Richard Bell dan juga muridnya dimana keduamelihat al-Qur’an mimiliki kegandaan sumber ganda. Watt, menilai bahwaal-Qur’an merupakan firman Alllah, tatapi diciptakan melalui pengalamanpribadi Nabi Muhammad, namun, ia juga berusaha menganologikanfenomena kewahyuan nabi Muhammad dengan konsep Kristen.
Pendekatan Hermeneutik Obyektif Penerapan metode ini dalam kajian al-Qur’an pernah diupayakan oleh Richard Bell dalam merelokasi kronologi unit-unit oisinal wahyu. Namun, berbeda dengan Richard Bell yang berangkat dari tradisi kesarjanaan Kristen, sementara penerapan metode tersebut oleh Wansbrough tampaknya lebih berada dalam tradisi kesarjanaan Yahudi katimbang tradisi Kristen.
Dalam melakukan kajiannya, John Wansbrough menggunakan analisa historis, sebagaimana digunakan oleh para orientalis sebelumnya dan literary analysis. Pendekatan historis dilakukan John Wansbrough dalam kaitannya dengan isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terdapat adanya kesamaan dengan kitab sebelumnya. Oleh karena itu, John Wansbrough mengatakan al-Qur’an dipengaruhi oleh agama atau tradisi sebelumnya, Yahudidan Kristen. Andrew Rippin, dalam menganalisa tulisan John Wansbrough mengungkap akan metode ini.
C.     Pandangan Richard Bell dan John Wansbrough terhadap al-Qur’an
Richard Bell, sebagai refresentasi sarjana Kristen, misalnya mengatakan bahwa Muhammad banyak terpengaruh suasana polemis dikalangan orang-orang Kristen Arab. Pada masa Mekkah dan awal Madinah, Muhammad dan al-Qur’an kemudian terpengaruh oleh ajaran Kristen. Misalnya menurut Bell, QS. al-Ikhlas bukanlah merupakan hasil polemikantara Nabi Muhammad dan orang Kristen, melainkan terhadap orang musyrikyang mempercayai banyak Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan mempunyai tiga anak perempuan (allata, al-uzza, dan manat). Akan tetapi kisah tentang penolakan penyaliban Yesus dalam al-Qur’an diklaim, diambil oleh Nabi Muhammad saw dari arah satu sekte Kristen di Syiria. 194 metode historis yang sama dipergunakan Bell untuk menjelaskan fenomena kewahyuan yang dialami Nabi Muhammad saw.
Menurut Richard Bell, al-Qur’an bukanlah risalah teologi, bukan pula kitab perundang-undangan atau kumpulan kutbah, tetapi rasanya al-Qur’an lebih merupakan ramuan (medley) ketiganya, dan ditambah berbagai “mutiara” yang bertebaran di dalamnya. “Pewahyuannya” tentang selama kurang dua puluh tahun, disaat Nabi Muhammad Saw bangkit dari posisi seorang pembaru keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya,. Mekkah menjadi penguasa aktual di kota Madinah dan sebagian besar jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan kaum Muslimin selama masa-masa tersebut, maka wajar kalau gaya kitab suci al-Qur’an berubah-ubah pula. Lebih dari itu, Bell, juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian Muhammad saw. Richard Bell juga menjelaskan bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen.
Richard Bell menilai bahwa sumber al-Qur’an itu memiliki kegandaan sumber yaitu Tuhan dan Muhammad SAW dan dia mengadopsi pandangan-pandangan yang mengikuti aliran pendukung naskh al-Qur’an. Hal ini sekali lagi dikarenakan pandangan Richard Bell yang secara koheren yang menekuni persoalan al-Qur’an hingga memicu terjadi adanya persoalan kajian nasikh juga, yang pada akhirnya adalah untuk membuat ragu umat Islam dan memporak-porandakan Islam, dan hal itu menjadi tujuan utamanya, meskipun dalam sekian bukunya terlebih dalam buku  Bell’s Introduction to the Qur’an  (Pengantar al-Qur’an), ia menjelaskan bahwa tujuan akhirnya itu adalah untuk mengklasifikasi serta memetakan dan juga memilih redaksi Tuhan dan tambahannya (redaksi Nabi).
Pandangan ini secara latah ingin membuktikan bahwa  al-Qur’an yang terbukukan sekarang memiliki keterlibatan (andil) manusia (Muhammad Saw). Pada dasarnya Richard Bell sepakat bahwa nasikh adalah proses penggantian atau penghapusan ayat dengan ayat lain yang lebih bertendensi pada peralihan ketentuan hukum. Namun, dikarenakan dugaan dan pandangan tentatifnya itu, bagi dia arti nasikh difokuskan hingga pada arti derevisinya yaitu, perubahan, tambahan, salinan, koreksian atau revisi.
Menurut Bell arti proses revisi (Tuhan) al-Qur’an dan naskh al-Qur’an, hal ini ada kaitannya  asbab an-nuzul, dan hal ini tidak bisa dipisahkan pada persoalan yang pada akhirnya sulitnya bagi kaum muslim dalam menentukan mana yang dahulu dan mana yang terakhir ayat yang diturunkan, dengan mempertimbangkan sebab-sebab nuzul -nya, menurut Bell hal tersebut memiliki proses yang sama yaitu berulang penurunan  ayat al-Qur’an sebagai pengganti terdahulu dan proses perbaikan teks serta konteks al-Qur’an. Padahal pendapat ulama klasik-hingga ulama kontemporer memahami arti nasikh yang berbeda-beda, ada yang menyakini dan ada yang tidak menyakini, pada umumnya mereka juga mengakui adanyanaskh, sebagaimana pembahasan yang telah lalu.
Lain halnya menurut Bell yang memahami tentang makna naskh ini cenderung menyimpang, karena makna naskh sebenarnya bukan ditendensikan untuk menghapus secara total ayat-ayat al-Qur’an, namun persoalan naskh lebih diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan situasi dan kondisi dengan ketentuan sementara yang sesuai dengan zaman dan pelakunya. Hal tersebut sesuai dengan peryataan kebanyakan ulama kontemporer. Sedangkan makna naskh yang dikonstruk oleh Bell tidak lain adalah sebuh proses perbaikan (revisi) dan penambahan ayat-ayat oleh Muhammad saw.[2]
Penentuan tentang unit-unit wahyu di atas menurut penulis adalah hanya suatu gaya (genre) yang didasarkan pada anggapan bahwa sejumlah besar surat yang ada di dalam al-Qur’an mengandung  bahan-bahan dari berbagai periode pewahyuan. Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian minimal yakni pengumpulan unit-unit individual wahyu ke dalam surat dan lebih parahnya ia melihat asumsi perevisianya yang  lebih jauh melihat dalam proses pengumpulan tersebut dalam wahyu-wahyu al-Qur’an yang secara konstan menurutnya tengah mengalami revisi menurut  periodenisasi, pendek kata yakni telah mengalami perluasan, yang pada akhirnya memicu ketidak orisinalitas al-Qur’an, melalui penggantian unit-unit wahyu lama dengan bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupapenyesuaian rima atau sekedar sisipan, dan lainnya. Masalah yang pertama yang diajukannya, mengenai penyusunan al-Qur’an yang dipersepsikan dilakukan oleh Nabi saw, secara keilmuan bukanlah hal yang baru. Para ulama sepakat bahwa susunan ayat adalah tauqifi (bersumber dari petunjuk Rasul). Sedangkan susunan surat telah menimbulkan polemik dikalangan ulama, polemik ini berkembang luas dikalangan ulama muslim, yang dalam aplikasinya menghasilkan beberapa pendapat yaitu:
Pertama, adalah sebagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada adalah  tauqifi (sesuai dengan petunjuk Rasul). Kedua adalah bagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada sekarang adalah ijtihadi (berdasarkan ijtihad para Sahabat). Ketiga adalah pendapat moderat; mengatakan bahwa sebagian susunan ayat ditetapkan oleh Rasulullah dan sebagian lagi merupakan ijtihad para sahabat. Persepsi kedua inilah yang diadopsi Bell yang kemudian dikonfirmasikannya melalui proses lafaz jam’u.[3]
Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. menurut John Wansbrough adalah merupakan kepanjangan dari kitab Taurat, seperti pengambilan kata setan dalam al-Qur’an. John Wansbrough mengatakan:
“... Qur’anic adaption of the Judae-Christian Satan will not have been a consequence merely of autonamasia, not yet ofan attempt to sparate prophet form poet (from both might be devinely inspirated) but rather of the persuasion that all inspirations requered an intermediarry....”Selanjutnya John Wansbrough mengatakan:
“That the logia once collected and canonized might be granted enhanced statusas the inimitanble and uncreated world of God would not appear to have beeneither logical or neccessary. Both qualtes how ever may be seen as reflexes ofRabbanic attitudes toward to Mosaic relevation,possibly adobted and modified ofthe cource of the Judeo-Muslim polemic.”
Akan tetapi isi-isi al-Qur’an dinaikkan derajatnya oleh umat Islam menjadi kitab suci yang bernilai mutlak. John Wansbrough lebih jauh mengatakan:
“Whatever body of prophetical wisdom might from time to time have been regarded as suplemantary tio the contents af scripture it was with an organized corpus of recognizable logia that mainstream of Islamic theology was concerned and not with a source of connected wisdom for the elect”.
Yang lebih fatal lagi dengan merujuk pada QS. al-A’raf (7) 71, al-Saffat (31): 156, John Wansbrough memberi arti kata al-Kitab/ Kitabullah yang ada dalam al-Qur’an dengan ketetapan (dorcee), otoritas (autority) atau usulan bukan dengan kitab suci.
Atas keengganan untuk menyebut kitab suci tersebut, nampaknya tujuan yang hendak dicapai oleh John Wansbrough adalah melepaskan al-Qur’an dari jalinan yang transendental yaitu wahyu Allah. Oleh karena itu, di munculkanlah anggapan kata-kata yang di sinyalir sebagai tambahan dari Nabi Muhammad saw. John Wansbrough menganggap bahwa kata qul dalam QS. al-An’am (6):,  al-Ra’d (13): 36 dan al-Ankabut (29): 52, kata tersebut sengaja disisipkan untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah benar wahyu Allah. Keberadaannya justru menjadikan al-Qur’an tidak logis karena tidak sejalan dengan hegomonitas bahasa yang berlebihan. Dengan demikian, John Wansbrough menyamakan al-Qur’an dengan karya sastra syair lain yang harus konsisten dalam penggunaan gaya bahasa.
Wansbrough di sisi lain, menegaskan bahwa riwayat-riwayat tentang kisah pengumpulan al-Qur’an serta laporan-laporan tentang kodeks para sahabat direkayasa dan diangkat ke permukaan untuk memberikan otoritas kepada suatu teks Ilahi yang bahkan belum dikompilasi hingga abad ke 3 H. Ia mengklaim bahwa teks al-Qur’an pada awalnya begitu “cair” sehingga berbagai laporan yang mencerminkan varian tradisi-tradisi independen di berbagai pusat metropolitan islam –misalnya Kufah, Bashrah, Madinah dan lain lain- bisa ditelusuri jejaknya dalam mushaf al-Qur’an yang sekarang.
John Wansbrough menolak mushaf utsmani. Ia mengundurkan penulisan al-Qur’an selama 300 tahun kemudian. Hal ini di identikkan dengan kodifikasi perjanjian lama yang ditulis selama 900 tahun yang diambil dari tradisi lisan
 IV.            PENUTUP
Richard Bell dan John Wansbrough merupakan dua islamolog yang masing-masing mewakili Kristen dan Yahudi, berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih merupakan replikasi atau mimesis dari Injil dan Taurat. Karya-karya yang mencoba untuk membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Qur’an. Dan karya tersebut hanya menjelaskan aspek-aspek tertentu saja dari ajaran al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis Terhadap al Quran dan Hadis, pdf.
Adnan Amal, Taufik,  Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001)
Bell, Richard, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet III, 1995).



[1]Anwar Syarifuddin,Kajian Orientalis Terhadap al Quran dan Hadis, pdf. h.  91
[2]Adnan Amal, Taufik,  Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001), hlm. 114.
[3]Bell, Richard, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet III, 1995), hlm. 167-171.

No comments:

Post a Comment