AKTUALISASI PERJUANGAN DIPONEGORO
Pelajaran sejarah yang benar harus dipaparkan
dengan benar kepada anak didik kita sehingga mereka bisa mengambil hikmah
meneladani pahlawan Islam. Dahulu pernah dimuat sebuah artikel menarik berjudul
”Diponegoro Pangeran Santri Penegak Syariat”.
Di
dalam perjuangan, dibutuhkan kesabaran dan kemantapan hati, motivasi agar kita
tak menjual harga diri apalagi agama ini. Terlebih-lebih di jalan dakwah,
jalannya terjal, berat, berliku, dan penuh dengan tingkungan-tikungan tajam.
Tentu untuk menghadapi semua itu dibutuhkanlah sebuah motivasi, agar masa-masa
sulit tak membawa kepada kepetusasaan. Maka dengan Al-Qur’an Allah teguhkan
kita. Semoga saudara-saudara ku yang hari ini sedang berjuang, di dalam
himpitan kesulitan, ingatlah bahwa kalian tak sendirian, masih ada kami. Dan
Allah pun bersama kalian, dan kemenangan pun sudah semakin dekat. Allah swt. Berfirman
dalam surat al-qashash ayat 5-6
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ
عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً
وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ (5) وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَنُرِيَ
فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُمْ مَا كَانُوا يَحْذَرُونَ (6)
Artinya 5.“Dan Kami hendak
memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak
menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
(bumi)”.
6. “Dan Kami teguhkan
kedudukan mereka di bumi dan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta
bala tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka”.
wacana ini penting dalam penulisan sejarah
Islam di Indonesia bahwa Pangeran Diponegoro bukanlah pahlawan nasional yang
berjuang melawan Belanda semata-mata karena urusan tanah atau tahta. Tapi,
Pangeran Diponegoro adalah pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang mendalami serius
agama Islam, dan kemudian melawan penjajah Belanda dengan semangat jihad fi
sabilillah. Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan
kenikmatan duniawi demi mewujudkan sebuah cita-cita luhur, tegaknya Islam di
Tanah Jawa.
Sejak kecil, beliau terbiasa bergaul dengan para
petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap
berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang
biasa dengan berpakaian wulung. Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo
bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang
keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo.
Menurut laporan Residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan
pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta,
pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan
kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa.
Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam
dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di
Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29). Dalam Babad
Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra
mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk
menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin
dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya
di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan
kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa
saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan
diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya
bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak
urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).
Perang besar Dalam bukunya, Beberapa Aspek
Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian
besar sejarawan menyepakati bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang
anti-kolonial. Beberapa sebab itu antara lain Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil
alih Belanda, Pemberian kesempatan
kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, Kekurangadilan di masyarakat Jawa, Aneka
intrik di istana, Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang
Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar,Kerja paksa bukan
hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan
Belanda. Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh
alasan yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh
Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan
utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari
kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh
pengaruh orang-orang Barat.” Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro
kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan
Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun
Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang
bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu
Islam Tanah Jawa). (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung
Menyambung Menjadi Satu, (2002)).
Indonesia ditengah gejolak dan kemelut kebangsaan yang melanda sangat
membutuhkan optimisme dan tindakan riil untuk membangun bangsa. Kalau mereka
bisa berjuang dan berhasil mengalahkan para penjajah dengan gigih dan tidak
pernah mengenal pantang menyera, itu berarti untuk membalas perjuangan mereka
itu, kita sebagai para masiswa di haruskan melanjutkan perjuangan mereka. Bukan
lagi melawan penjajah kolonial Belanda, melainkan berjuang demi menggapai masa
depan yang gemilang, berjuang guna membangun Indonesia ini ke arah yang lebih baik dari
hari ini.
No comments:
Post a Comment