Saturday, June 11, 2016

Makalah Ilmu Pengantar Da'wah tentang Aktualisasi Perjuangan Diponegoro

AKTUALISASI PERJUANGAN DIPONEGORO

Pelajaran sejarah yang benar harus dipaparkan dengan benar kepada anak didik kita sehingga mereka bisa mengambil hikmah meneladani pahlawan Islam. Dahulu pernah dimuat sebuah artikel menarik berjudul ”Diponegoro Pangeran Santri Penegak Syariat”.
Di dalam perjuangan, dibutuhkan kesabaran dan kemantapan hati, motivasi agar kita tak menjual harga diri apalagi agama ini. Terlebih-lebih di jalan dakwah, jalannya terjal, berat, berliku, dan penuh dengan tingkungan-tikungan tajam. Tentu untuk menghadapi semua itu dibutuhkanlah sebuah motivasi, agar masa-masa sulit tak membawa kepada kepetusasaan. Maka dengan Al-Qur’an Allah teguhkan kita. Semoga saudara-saudara ku yang hari ini sedang berjuang, di dalam himpitan kesulitan, ingatlah bahwa kalian tak sendirian, masih ada kami. Dan Allah pun bersama kalian, dan kemenangan pun sudah semakin dekat. Allah swt. Berfirman dalam surat al-qashash ayat 5-6
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ (5) وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَنُرِيَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُمْ مَا كَانُوا يَحْذَرُونَ (6)

Artinya 5.“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”.
6. “Dan Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi dan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka”.

wacana ini penting dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia bahwa Pangeran Diponegoro bukanlah pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda semata-mata karena urusan tanah atau tahta. Tapi, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang mendalami serius agama Islam, dan kemudian melawan penjajah Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah. Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan kenikmatan duniawi demi mewujudkan sebuah cita-cita luhur, tegaknya Islam di Tanah Jawa.
Sejak kecil, beliau terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung. Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan Residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa.
Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29). Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda.  Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).
Perang besar Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menyepakati bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang anti-kolonial. Beberapa sebab itu antara lain  Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda,  Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak,  Kekurangadilan di masyarakat Jawa, Aneka intrik di istana, Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar,Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda. Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.” Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).  (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)).
Indonesia ditengah gejolak dan kemelut kebangsaan yang melanda sangat membutuhkan optimisme dan tindakan riil untuk membangun bangsa. Kalau mereka bisa berjuang dan berhasil mengalahkan para penjajah dengan gigih dan tidak pernah mengenal pantang menyera, itu berarti untuk membalas perjuangan mereka itu, kita sebagai para masiswa di haruskan melanjutkan perjuangan mereka. Bukan lagi melawan penjajah kolonial Belanda, melainkan berjuang demi menggapai masa depan yang gemilang, berjuang guna membangun  Indonesia ini ke arah yang lebih baik dari hari ini. 

No comments:

Post a Comment